Senin, 04 Mei 2009

REFLEKSI HARDIKNAS, KUALITAS GURU KAL-TIM, LAYAK ATAU TIDAK?

Sejauh ini peningkatan SDM di Kaltim selalu diupayakan seirama dengan perkembangan dan tuntutan zaman yang semakin canggih. Perkembangan zaman selalu memunculkan tantangan-tantangan baru yang sebagiannya sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Sebagai konsekuensi logis, pendidikan selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru. Masalah yang dihadapi dunia pendidikan itu demikian luas, pertama karena sifat manusianya dalam hal ini SDMnya terlihat sangat misteri. Kedua, karena usaha pendidikan itu demikian luas sehingga harus mengantisipasi ke masa depan tentu saja segenap seginya tidak terjangkau oleh kemampuan daya ramal manusia. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pendidikan dapat membekali perserta didik keterampilan kerja yang mantap untuk dapat terjun ke dalam kancah kehidupan bermasyarakat. Tentu saja SDM yang berkualitas sangat diperlukan untuk menjawab permasalahan ini. Lantas, bagaimana kita tahu bahwa SDM guru yang ada di KALTIM sama berkualitas dengan guru yang ada di pulau Jawa? Berbicara tentang sistem desentralisasi dalam kaitannya dengan peningkatan SDM berarti berbicara tentang aspirasi serta harapan masa depan dan kesejahteraan SDM itu sendiri yang notabene adalah guru. Kalau dampak desentralisai pendidikan tidak berpihak pada guru berarti tidak ada bedanya dengan kebijakan yang diberlakukan pada saat sentralisasi. Maksud dari desentralisasi pendidikan sudah pasti berpihak pada guru yang muaranya akan terjadi peningkatan kualitas guru itu sendiri. Semua pengalokasian dana pastinya dikelola oleh daerah sesuai dengan porsinya masing-masing. Anggaran dana untuk pendidikan dari zaman ke zaman tidak ada bedanya karena prosentase yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sama dengan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Sejalan dengan pemikiran tersebut bagaimana kita bisa meningkatkan kualitas SDM di KALTIM kalau dana yang dialokasikan hanya 20%??!! Apakah mungkin biaya pendidikan dan pelatihan guru dibayar dengan harga murah? Mampukah pemerintah daerah mendukung kegiatan diklat bagi guru dalam kaitannya dengan peningkatan mutu SDM guru tersebut? Apakah pemerintah mampu mendatangkan nara sumber berkualitas dari luar negeri untuk mengisi kekosongan wawasan guru di KALTIM yang sudah pasti mengeluarkan dana yang tidak sedikit? Mampukan pemerintah daerah memberikan biaya transportasi dan makan siang guru yang mengikuti diklat peningkatan mutu tersebut? Tegakah pemerintah daerah membiarkan guru mengisi kekosongan wawasan tetapi kekosongan terjadi di daerah lambungnya? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul berkaitan dengan kebijakan desentralisasi. Pertanyaan-pertanyaan yang dituangkan oleh penulis tadi sekaligus merupakan jawaban-jawaban atas kebijkan desentralisasi dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas SDM yang ada di KALTIM. Karena polemik yang ada sejauh penelusuran penulis, kebijakan desentralisasi tidak memberikan efek langsung terhadap peningkatan kualitas SDM di KALTIM. Tinggal bagaimana sang pemegang kebijakan tersebut merubah pola pikir yang selalu mengedepankan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Sejalan dengan hari Pendidikan Nasional, terobosan-terobosan apa kiranya yang dapat dilakukan oleh pemerintah sehubungan dengan semangat anak bangsa yang memiliki ikrar "Menuju pendidikan yang lebih baik."Apakah kemajuan pendidikan hanya diukur dari kebebasan peserta didik membayar uang sekolah, tanpa memedulikan bagaimana guru dan peserta didik di Indonesia mampu bersaing dengan guru-guru bahkan peserta didik di negara Asia tenggara. Menurut hemat penulis, kualitas SDM khususnya generasi muda Indonesia tidak terlalu menggembirakan karena terlalu banyak manipulasi yang dilakukan oleh para pendidik dan pemerhati pendidikan sehubungan dengan penilaian peserta didik. Contoh konkritnya, Survey membuktikan, (berdasarkan suara hati rakyat) bahwa peserta didik yang tidak berkompeten bisa saja mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari pada siswa lain hanya karena mengikuti les tambahan dengan guru bidang studi tertentu. Karena mendapat upah dari les tersebut, mau tidak mau, suka tidak suka, guru tersebut harus memberikan nilai lebih pada peserta didik yang memberikan "nilai" lebih tersebut. Sementara siswa lain yang berkompeten tetapi tidak mengikuti les tambahan tersebut, akan mendapat nilai apa adanya bahkan kalau bisa jauh di bawah nilai peserta didik khusus tersebut ditambah dengan perlakuan istimewa.

Belum lagi, guru-guru yang suka "memakan" gaji buta, di mana setiap masuk ke dalam kelas beliau hanya memberikan catatan dan tugas-tugas yang seabrek kepada peserta didik tanpa menjelaskannya , setelah itu pamit keluar dan tidak kembali lagi sampai jam pelajaran selesai. Dan jika ulangan tiba, peserta didik yang nilainya tidak tuntas dengan bidang studi tersebut, harus mengikuti "remedial siluman", maksudnya tidak mengikuti test serupa lagi, tapi cukup membayarnya dengan coklat, minyak tawon, rokok dan lain-lain sampai "nilai nyata." Kemudian buku rapor yang diterima siswa setiap semester, tidak lagi mencerminkan output yang berkualitas, tapi lebih kepada ... "proyek siluman". Peserta didik yang murni berkualitas akan berteriak dalam hatinya, " Adilkah ini?" Apakah aku tidak berhak mendapatkan hak atas kerja kerasku?" Mengapa nilaiku harus sama dengan siswa yang tidak bekerja keras tapi sanggup memberi "kertas"?

Pembaca yang budiman, kita tidak boleh menutup mata, bahwa kejadian itu memang benar-benar ada tapi sedikitpun tidak ada respon dan perhatian dari pemerintah. Inikah gambaran kualitas SDM guru yang ada di KALTIM tercinta ini? Sekali lagi," Apakah sudah cukup dengan kebijakan membebaskan biaya sekolah bagi peserta didik tanpa menghiraukan guru-guru yang sudah melakukan korupsi administratif (waktu) dan memperlakukan siswa dengan seenak perutnya.

Pemerintah yang budiman, penulis tidak bermaksud mencampuri kebijakan desentralisasi dan Manajemen Berbasis Sekolah yang sudah susah payah dibuat dan diperjuangkan. Tapi akan lebih baik jika Dinas Pendidikan Nasional maupun Provinsi mengirimkan utusannya secara rutin untuk mengontrol kinerja guru-guru yang ada di KALTIM. Jika terdapat banyak ketimpangan yang terjadi selama proses pembelajaran, berikan masukan, saran, kritik yang membangun dan training penambahan wawasan keilmuwan dan psikologi anak didik sehingga guru akan bekerja secara proporsional dan profesional menuju guru yang bermartabat. Penulis sangat mengharapkan jika pemerintah mau meluangkan waktunya untuk melakukan supervisi rutin yang terjadual seminggu sekali untuk menguji keloyalitasan guru sebagai seorang pendidik dan pahlawan tanpa tanda jasa. Bagaimana Pak, Bu?

1 komentar:

hairus soviati mengatakan...

wow.. that is a great article, mom.. !!!
eventhough she lives in poverty, she still be strong to face the world along by herself..
and she does not care about what people says about her..
and what i like the most is, she still be strong. moreover, people says a bad thing about her, like calumny..

how i wish she deserves a good life..and if there is something i can do for her, i will help her and do my best to help her..

and i think that is my opinion about what i think 'bout this article..

thank u mom..


by: hairus soviati
class : 2 science 4


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Flowers and Decors. Powered by Blogger